1. Alifa Surya
2. Gita Mawar Mawangi
3. Muhamad Geri
PENGERTIAN KEMISKINAN
Kemiskinan adalah sebuah fenomena, suatu kenyataan yang belum dan takkan
pernah terhapuskan dari muka bumi ini. Kemiskinan timbul akibat perbedaan
kemampuan, perbedaan kesempatan, dan perbedaan sumber daya.
Tidak mudah untuk mendefinisikan kemiskinan, karena
kemiskinan itu mengandung unsur ruang dan waktu. Konsep kemiskinan itu
berbeda-beda dari setiap zaman dan negara, contohnya negara maju dengan negara
berkembang. Kemiskinan disebagian negara justru ditandai dengan
kelaparan, kekurangan gizi, ketiadaan tempat tinggal, mengemis, tidak dapat
sekolah, tidak punya akses air bersih dan listrik. Definisi kemiskinan biasanya
sangat bergantung dari sudut mana konsep tersebut dipandang.
Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan
sebagai “Poverty is lack of shelter. Poverty
is being sick and not being able to see a doctor. Poverty is not being able to
go to school and not knowing how to read. Poverty is not having a job, is fear
of the future, living one day at a time. Poverty is losing a child to illness
brought about by unclean water. Poverty is powerlessness, lack of
representation and freedom”. Kemiskinan berkenaan dengan ketiadaan tempat
tinggal, sakit dan tidak mampu untuk berobat ke dokter, tidak mampu untuk
sekolah dan tidak tahu baca tulis. Kemiskinan adalah bila tidak memiliki
pekerjaan sehingga takut menatap masa depan, tidak memiliki akses akan sumber
air bersih. Kemiskinan adalah ketidakberdayaan, kurangnya representasi dan
kebebasan. Lebih sederhana, Bank Dunia (2000) mengartikan bahwa kemiskinan
adalah kekurangan, yang sering diukur dengan tingkat kesejahteraan.
Kemiskinan
biasanya didefinisikan sebagai sejauh mana suatu individu berada dibawah
tingkat standar hidup minimal yang dapat diterima oleh masyarakat atau
komunitasnya. Secara umum teori-teori yang menjelaskan mengapa kemiskinan
terjadi, dapat dibedakan menjadi teori yang berbasis pada pendekatan ekonomi
dan teori yang berbasis pada pendekatan sosio-antropologi (non-ekonomi),
khususnya tentang budaya masyarakat. Teori yang berbasis pada teori ekonomi antara
lain melihat kemiskinan sebagai akibat dari kesenjangan kepemilikan faktor
produksi, kegagalan kepemilikan, kebijakan yang bias, perbedaan kualitas
sumberdaya manusia, serta rendahnya pembentukan modal masyarakat atau rendahnya
rangsangan untuk penanaman modal. Disisi lain, pendekatan sosio-antropologis
menekankan adanya pengaruh budaya yang cenderung melanggengkan kemiskinan
(kemiskinan kultural), seperti budaya yang menerima apa adanya. Sangat yakin
bahwa apa yang terjadi adalah takdir dan tidak perlu disesali bahkan bérusaha
sekuat tenaga untuk mengubahnya. Kondisi seperti ini terlihat jelas pada
kerajaan-kerajaan zaman dahulu. Para abdi kerajaan dengan sepenuh hati mengabdi
meski tanpa gaji (yang memadai) karena itu diyakini merupakan sebuah takdir dan
kebanggaan tersendiri, atau mungkin karena alasan lainnya.
Chambers (2006), berpendapat bahwa pengertian kemiskinan sangat
tergantung pada siapa yang bertanya, bagaimana hal itu dipahami serta siapa
yang meresponnya. Prespektif ini mengelompokkan makna kemiskinan menjadi
beberapa kelompok dan beberapa di antaranya diuraikan berikut ini.
Pertama adalah kelompok yang memandang kemiskinan dari sisi pendapatan (income-poverty), namun karena sulit untuk mengukurnya sering didekati dari sisi pengeluaran (consumption-poverty). Sebagian besar orang, terutama para pakar ekonomi cenderung menggunakan konsep ini. Mereka akan melihat kemiskinan dari sudut pandang pendapatan atau pengeluaran (konsumsi).
Kedua adalah kelompok yang memaknai kemiskinan dari kekurangan materi. Konsep ini lebih Iuas dari konsep pada kelompok pertama. Selain kekurangan pendapatan, kemiskinan juga diartikan sebagai kurangnya kekayaan, rendahnya kualitas aset lain seperti rumah tempat tinggal, pakaian, peralatan rumahtangga, sarana transportasi, peralatan akses komunikasi dan informasi seperti TV, dan radio, serta rendahnya akses terhadap fasilitas lainnya seperti kesehatan dan pendidikan.
Kelompok ketiga mengacu pada pendapat Amartya Sen, bahwa kemiskinan dinyatakan sebagai kekurangan atau ketidakmampuan serta apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan, termasuk di dalamnya kekurangan material, ketidakmampuan fisik, serta dimensi sosial. Kelompok keempat mengartikan kemiskinan dengan konsep yang luas, mencakup multidimesi kekurangan.
Pertama adalah kelompok yang memandang kemiskinan dari sisi pendapatan (income-poverty), namun karena sulit untuk mengukurnya sering didekati dari sisi pengeluaran (consumption-poverty). Sebagian besar orang, terutama para pakar ekonomi cenderung menggunakan konsep ini. Mereka akan melihat kemiskinan dari sudut pandang pendapatan atau pengeluaran (konsumsi).
Kedua adalah kelompok yang memaknai kemiskinan dari kekurangan materi. Konsep ini lebih Iuas dari konsep pada kelompok pertama. Selain kekurangan pendapatan, kemiskinan juga diartikan sebagai kurangnya kekayaan, rendahnya kualitas aset lain seperti rumah tempat tinggal, pakaian, peralatan rumahtangga, sarana transportasi, peralatan akses komunikasi dan informasi seperti TV, dan radio, serta rendahnya akses terhadap fasilitas lainnya seperti kesehatan dan pendidikan.
Kelompok ketiga mengacu pada pendapat Amartya Sen, bahwa kemiskinan dinyatakan sebagai kekurangan atau ketidakmampuan serta apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan, termasuk di dalamnya kekurangan material, ketidakmampuan fisik, serta dimensi sosial. Kelompok keempat mengartikan kemiskinan dengan konsep yang luas, mencakup multidimesi kekurangan.
GARIS KEMISKINAN
Apa sesungguhnya garis kemiskinan itu?
Agar lebih mudah menentukan apakah seseorang atau suatu rumahtangga termasuk
golongan miskin atau tidak, diperlukan suatu patokan yang disepakati atau
ditetapkan. Berdasarkan patokan inilah dipetakan posisi setiap individu atau
rumahtangga, apakah berada di atas, di bawah, serta seberapa jauh posisinya di
atas atau di bawah patokan. Patokan inilah yang disebut dengan garis kemiskinan
(GK).
Garis kemiskinan dapat juga diartikan sebagai tingkat pendapatan atau pengeluaran yang ditetapkan, dimana bila pendapatan seseorang berada di bawah tingkatan tersebut, maka ia dikatakan miskin (Melbourne Institute, 2012). Oleh karena itu, garis kemiskinan sangat berpengaruh terhadap besar kecilnya angka kemiskinan.
Apa saja yang mempengaruhi garis kemiskinan? Berbagai hal akan mempengaruhi garis kemiskinan seperti, konsep kebutuhan dasar, konsep kesejahteraan, lokasi (letak geografis), dan tingkat harga. Andaikan yang pertama dan kedua dapat dirangkum dalam konsep utilitas. Maka garis kemiskinan itu merupakan utilitas minimum yang harus dipenuhi oleh setiap individu agar ia tidak termasuk dalam kategori miskin, sehingga:
GK=f(u)
dengan GK adalah garis kemiskinan, dan u merupakan tingkat utilitas minimum.
Utilitas biasanya ditentukan oleh tingkat konsumsi terhadap barang dan jasa, misalkan xi. Selain tingkat pendapatan yi , konsumsi juga ditentukan oleh harga dari barang dan jasa itu sendiri, yaitu pi. Sehingga, garis kemiskinan dapat dirumuskan menjadi (tanpa memasukkan unsur pendapatan-hanya dari sisi pengeluaran):
GK=Ui(xi , pi)
Harga barang dan jasa yang dikonsumsi tidaklah sama untuk setiap daerah. Bahkan harga suatu barang dan jasa yang jenisnya sama dan dengan ukuran yang sama pula, akan berbeda antara di desa dan di kota. Harga minyak goreng perliter yang diproduksi di kota Medan, akan berbeda dengan di Sulawesi dan Papua. Tentu saja ini adalah hal yang lumrah, karena agar minyak goreng tersebut dapat dijual di Papua diperlukan biaya transportasi tambahan dibanding bila dipasarkan di Medan.
Garis kemiskinan dapat juga diartikan sebagai tingkat pendapatan atau pengeluaran yang ditetapkan, dimana bila pendapatan seseorang berada di bawah tingkatan tersebut, maka ia dikatakan miskin (Melbourne Institute, 2012). Oleh karena itu, garis kemiskinan sangat berpengaruh terhadap besar kecilnya angka kemiskinan.
Apa saja yang mempengaruhi garis kemiskinan? Berbagai hal akan mempengaruhi garis kemiskinan seperti, konsep kebutuhan dasar, konsep kesejahteraan, lokasi (letak geografis), dan tingkat harga. Andaikan yang pertama dan kedua dapat dirangkum dalam konsep utilitas. Maka garis kemiskinan itu merupakan utilitas minimum yang harus dipenuhi oleh setiap individu agar ia tidak termasuk dalam kategori miskin, sehingga:
GK=f(u)
dengan GK adalah garis kemiskinan, dan u merupakan tingkat utilitas minimum.
Utilitas biasanya ditentukan oleh tingkat konsumsi terhadap barang dan jasa, misalkan xi. Selain tingkat pendapatan yi , konsumsi juga ditentukan oleh harga dari barang dan jasa itu sendiri, yaitu pi. Sehingga, garis kemiskinan dapat dirumuskan menjadi (tanpa memasukkan unsur pendapatan-hanya dari sisi pengeluaran):
GK=Ui(xi , pi)
Harga barang dan jasa yang dikonsumsi tidaklah sama untuk setiap daerah. Bahkan harga suatu barang dan jasa yang jenisnya sama dan dengan ukuran yang sama pula, akan berbeda antara di desa dan di kota. Harga minyak goreng perliter yang diproduksi di kota Medan, akan berbeda dengan di Sulawesi dan Papua. Tentu saja ini adalah hal yang lumrah, karena agar minyak goreng tersebut dapat dijual di Papua diperlukan biaya transportasi tambahan dibanding bila dipasarkan di Medan.
Demikian juga dengan jenis barang dan
jasa yang dikonsumsi antar daerah akan berbeda. Konsumsi orang Amerika dan
Eropa akan berbeda dengan konsumsi orang Indonesia pada umumnya, bahkan
preferensi masyarakat Aceh tentang makanan akan berbeda dengan preferensi
masyarakat Papua.
Karena perbedaan preferensi dan tingkat harga tersebut (juga berbagai alasan lainnya, seperti konsep kebutuhan yang memasukkan pendidikan, harapan hidup, akses informasi, dan lainnya) maka besarnya garis kemiskinan antar negara dan antar daerah juga dapat berbeda. Demikian halnya dalam satu daerah atau negara dalam kurun waktu yang berbeda.
Seperti dikatakan Atkinson (1975), bahwa: ”It’s misleading to suggest that poverty may be seen in terms on an absolute standard which may be applied to all countries and all times, independent of the social structure and the level of development. A poverty line as necessarily defined in relation social conventions and the contemporary living standards of a particular society”. Adalah sesuatu yang tidak mungkin (menyesatkan) bila melihat kemiskinan itu dengan standar yang mutlak yang dapat diterapkan untuk semua negara dan sepanjang masa, sebuah garis kemiskinan harus didefinisikan dalam suatu hubungan sosial dan standar hidup kontemporer masyarakat tertentu.
Karena perbedaan preferensi dan tingkat harga tersebut (juga berbagai alasan lainnya, seperti konsep kebutuhan yang memasukkan pendidikan, harapan hidup, akses informasi, dan lainnya) maka besarnya garis kemiskinan antar negara dan antar daerah juga dapat berbeda. Demikian halnya dalam satu daerah atau negara dalam kurun waktu yang berbeda.
Seperti dikatakan Atkinson (1975), bahwa: ”It’s misleading to suggest that poverty may be seen in terms on an absolute standard which may be applied to all countries and all times, independent of the social structure and the level of development. A poverty line as necessarily defined in relation social conventions and the contemporary living standards of a particular society”. Adalah sesuatu yang tidak mungkin (menyesatkan) bila melihat kemiskinan itu dengan standar yang mutlak yang dapat diterapkan untuk semua negara dan sepanjang masa, sebuah garis kemiskinan harus didefinisikan dalam suatu hubungan sosial dan standar hidup kontemporer masyarakat tertentu.
PROFIL KEMISKINAN DI
INDONESIA
Kemiskinan di Indonesia telah
mengalami proses yang panjang, bahkan jauh sebelum kemerdekaan. Kelaparan,
kemelaratan, ketiadaan akses terhadap pendidikan dan kesehatan telah terjadi
sejak zaman penjajahan. Tempat terjadinya tanam paksa serta kawasan perkebunan
merupakan kantong-kantong kemiskinan saat itu. Oleh karena itu kemiskinan
merupakan satu dari beberapa persoalan mendasar yang menjadi pusat perhatian
pemerintah dimanapun juga dan kapanpun juga.
Salah satu prasyarat keberhasilan
program-program pembangunan sangat bergantung pada ketepatan pengidentifikasian
target group dan target area. Dalam pelaksanaan program pengentasan nasib orang
miskin, keberhasilan bergantung pada langkah awal dari formulasi kebijakan,
yaitu mengidentifikasikan siapa sebenarnya “si miskin” tersebut dan dimana ia
berada. Pertanyaan pertama tentang siapa si miskin, dapat dijawab dengan
memperhatikan profil si miskin itu sendiri yang antara lain berupa
karakteristik-karakteristik ekonominya seperti sumber pendapatan, pola
konsumsi/pengeluaran, tingkat beban tanggungan,
dan lain-lain.
Pertanyaan kedua tentang dimana si
miskin berada dapat dijawab dengan melihat karakteristik geografisnya yaitu
dengan menetukan dimana penduduk miskin terkonsentrasi, apakah didesa atau dikota,
apakah di Jawa atau di luar Jawa, apakah di Kawasan Timur Indonesia (KTI, ini
merupakan istilah pengganti atau baru yang dianggap lebih baik daripada istilah
“Indonesia Bagian Timur”) atau di Kawasan Barat Indonesia, dan sebagainya.
1.
Alokasi
Geografis Penduduk Miskin
Penduduk miskin lebih banyak berada di
daerah pedesaan daripada didaerah perkotaan, yaitu 16,9 juta jiwa atau sekitar 62,72% dari total penduduk miskin.
Mereka ini umumnya merupakan buruh tani yang tidak memiliki lahan atau
pengusaha tani dengan lahan sempit didesa. Selain itu, mereka merupakan
pengusaha dengan modal minim dan akses ke lembaga keuangan formal sangat
terbatas.
Namun demikian, dari waktu ke waktu
terjadi penurunan jumlah yang miskin di pedesaan. Sementara jumlah yang miskin
di perkotaan meningkat. Disebabkan adanya pengalihan orang miskin dari pedesaan
ke perkotaan melalui migrasi desa-kota. Sebagian dari mereka menjadi penjual
bakso, warung makan tepi jalan, pedagang asongan, pedagang kaki lima, pemulung,
gelandangan, dan sebagainya. Bagian
terbesar penduduk miskin berada di Jawa-Bali, terutama di daerah perkotaannya.
2.
Karakteristik
Ekonomi Penduduk Miskin
Dari data
tape SUSENAS 1990 hanya dapat diperoleh beberapa karakteristik ekonomi
rumah tangga. Pertama, jabatan pekerjaan dari kepala rumah tangga. Kedua,
sumber penghasilan rumah tangga, berapa persen yang dari upah, berapa
pula yang dari usaha. Juga dapat diketahui berapa persen penghasilan rumah
tangga kelompok miskin yang berasal, misalnya, dari sektor pertanian dan
beberapa persen yang dari sektor-sektor lainnya. Ketiga, pola pengeluaran
rumah tangga , berapa persen untuk makanan, berupa pula untuk nonmakanan.
3.
Karakteristik
Sosial-Budaya
Karakteristik sosial-budaya yang dapat
digali dari data tape SUSENAS 1990
meliputi tingkat pendidikan anggota keluarga dan nisbah jumlah lulusan suatu
tingkat pendidikan terhadap jumlah penduduk pada kelompok usia sekolah yang
bersangkutan. Keberhasilan menempuh pendidikan hingga lulus dipengaruhi oleh
banyak faktor, diantaranya adalah ketersediaan biaya, kemampuan dan kemauan
fisik maupun mental para siswa untuk mengikuti pelajaran/kuliah dibangku
pendidikan, dan sebagainya.
Tingkat
partisipasi dan tingkat keberhasilan untuk semua tingkat, yakni SD, SLP, SLA,
Akademi, maupun Universitas-pada keluarga miskin selalu lebih rendah daripada
keluarga yang tidak miskin. Untuk tingkat SD, tingkat partisipasi dan tingkat
keberhasilan keluarga miskin adalah 90%, sedangkan pada keluarga tidak miskin
lebih tinggi, yaitu 93,4%. Kemudian untuk tingkat SLP, keluarga miskin 53,5%,
sedangkan keluarga yang tidak miskin 64,6%. Lalu untuk tingkat SLA, keluarga
miskin 21,2% dan keluarga tidak miskin mencapai 42,7%. Untuk tingkat Akademi
dan Universitas tingkat partisipasi dan keberhasilan ini masing-masing 10,4%
dan 23,1% pada keluarga miskin, sedangkan pada keluarga tidak miskin
masing-masing 23,1% dan 2,5%.
KESENJANGAN
A.
Kesenjangan
Ekonomis
Salah satu kesenjangan ekonomis ini,
kami mengambil contoh dari penelitian studi kasus di Desa Bulugede, Jawa
Tengah. Kesenjangan yang dikaji dalam penelitian ini mencakup:
1.
Kesenjangan
Luas Penguasaan Tanah
Kesenjangan distribusi penguasaan tanah
per rumah tangga petani di desa penelitian ternyata cukup tajam. Menurut indeks
Gini, derajat kesenjangan distribusi penguasaan tanah didesa ini cukup tinggi
yakni 0,60.
2.
Peranan
dalam Proses Produksi Pertanian
Keterlibatan petani dalam dalam
pekerjaan tangan hanya terbagi terhadap 2 kategori, yaitu terlibat dalam
pekerjaan tangan secara dominan dan pekerjaan tangan secara tidak dominan.
Kategori pertama menunjuk keterlibatan rumahtangga petani dalam pekerjaan
tangan pada sebagian besar atau semua tahapan proses produksi pertanian.
Kategori kedua menunjuk kepada rumah tangga petani dalam pekerjaan tangan
sebagian kecil tahapan produksi pertanian.
Dalam proses produksi secara
keseluruhan, sebagian besar petani ternyata tergolong kategori petani yang
memperagakan pekerjaan tangan secara dominan. Diantara petani sampel, sebanyak
55 rumah tangga, atau 9,7% merupakan petani kategori ini.
3.
Perbedaan
Tingkat Pendapatan
Dilihat dari tingkat pendapatan,
sebagian besar rumah tangga petani tergolong miskin, yakni termasuk golongan
tingkat pendapatan kurang dari 320 kg beras per kapita/tahun. Sebanyak 46 rumah
tangga atau 76,6% tergolong berpenghasilan 320 kg setara beras per kapita/tahun.
Dengan kata lain, sebanyak 76,6% rumah tangga berada dibawah garis kemiskinan.
B.
Kesenjangan
Sosial
1.
Perbedaan
Gaya Hidup
Perbedaan gaya hidup yang ditemukan pada
penelitian ini mencakup pebedaan dalam aspek gaya bangunan rumah, gaya bahasa
dalam pembicaraan dengan pejabat desa, dan gaya berpakaian. Gaya hidup lainnya,
yakni gaya bahasa dalam pembicaraan antaranggota rumah tangga, ternyata tidak
bervariasi.
2.
Perbedaan
Aspirasi Sosial
Perbedaan aspirasi sosial yang ditemukan
dalam penelitian ini mencakup perbedaan aspirasi terhadap reforma agrarian dan
perbedaan aspirasi untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan pemerintah
desa. Perbedaan pertama menunjuk kepada perbedaan derajat keinginan terhadap
perbaikan hubungan agrarian. Perbedaan kedua menunjuk kepada perbedaan derajat
keinginan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan pemerintah desa.
FAKTOR – FAKTOR PENYEBAB
KEMISKINAN
Kemiskinan merupakan suatu kajian yang
menrik minat banyak orang. Oleh karena pengertian, definisi, penyebab, dampak,
metode pengukuran dan cara mengatasinyaberbeda-beda sesuai dengan pendapat dan
sudut pandangnya. Spicker (2002), berpendapat bahwa kemiskinan dapat dibagi
dalam empat mazhab, yaitu :
1.
Individual explanation, mazhab ini berpendapat bahwa kemiskinan cenderung
diakibatkan oleh karakteristik orang miskin itu sendiri. Seperti malas dan
kurang sungguh-sungguh dalam segala hal, termasuk bekerja.
2. Familial explanation, mazhab ini berpendapat bahwa kemiskinan lebih
disebabkan oleh faktor keturunan. Tingkat pendidikan orang tua yang rendah
telah membawa dia ke dalam kemiskinan. Akibatnya ia juga tidak mampu memberikan
pendidikan yang layak kepada anaknya, sehingga anaknya juga akan jatuh pada kemiskinan.
Demikian secara terus menerus dan turun temurun.
3. Subcultural explanation, menurut mazhab ini bahwa kemiskinan dapat disebabkan
oleh kultur, kebiasaan, adat-istiadat atau akibat karakteristik perilaku
lingkungan. Misalnya, kebiasaan yang bekerja adalah kaum perempuan, kebiasaan
enggan untuk bekerja keras dan menerima apa adanya dan sebagainya.
4. Structural explanation, mazhab ini menganggap bahwa kemiskinan timbul akibat
dari ketidakseimbangan, perbedaan status yang dibuat oleh adat istiadat, kebijakan,
dan aturan lain menimbulkan perbedaan hak untuk bekerja.
Selain dari berbagai pendapat di atas,
kemiskinan secara umum disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan
faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang datang dari dalam diri
orang miskin, seperti sikap yang menerima adanya, tidak bersungguh-sungguh
dalam berusaha, dan kondisi fisik yang kurang sempurna. Sedangkan faktor
eksternal adalah faktor yang datang dari luar diri si miskin, seperti
keterkucilan karena akses yang terbatas, kurangnya lapangan kerja, ketiadaan
kesempatan, sumberdaya alam yang terbatas. Sebagian besar faktor yang
menyebabkan orang miskin adalah faktor eksternal.
Beberapa faktor penyebab kemiskinan
lainnya adalah pertumbuhan ekonomi lokal dan global yang rendah, tingkat
pendidikan dan penguasaan teknologi yang rendah, sumberdaya alam yang terbatas,
pertumbuhan penduduk yang tinggi, dan stabilitas politik yang tidak kondusif.
Selain itu, Seperti yang dikemukakan oleh Nazara,
Suahasil (2007:35) bahwa; Pertama, kemiskinan selalu dikaitkan dengan
ketidakmampuan dalam mencapai pendidikan tinggi, hal ini berkaitan dengan
mahalnya biaya pendidikan, walaupun pemerintah Indonesia telah mengeluarkan
kebijakan untuk membebaskan uang bayaran di tingkat Sekolah Dasar (SD) dan
Sekolah Lanjutan Menengah Pertama (SLTP), namun komponen biaya pendidikan lain
yang harus dikeluarkan masih cukup tinggi, seperti uang buku dan seragam
sekolah. Biaya yang harus di-keluarkan orang miskin untuk menyekolahkan anaknya
juga harus termasuk biaya kehilangan dari pendapatan (apportunity cost)
jika anak mereka bekerja (Nazara, Suahasil. Dalam Warta Demografi: 2007:35).
Kedua, kemiskinan
juga selalu dihubungkan dengan jenis pekerjaan tertentu. Di Indonesia
kemiskinan selalu terkait dengan sektor pekerjaan di bidang pertanian untuk
daerah pedesaan dan sektor informal di daerah perkotaan. Pada tahun 2004
terdapat 68,7 persen dari 36,10 juta orang miskin tinggal di daerah pedesaan
dan 60 persen diantaranya memiliki kegiatan utama di sektor pertanian
(Sudaryanto dan Rusastra: 2006), hal ini diperkuat dengan hasil studi yang
dilakukan oleh Suryahadi et.al (2006), yang menemukan bahwa selama periode 1984
dan 2002, baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan, sektor pertanian merupakan
penyebab utama kemiskinan. Dalam studi tersebut juga ditemukan bahwa sektor
pertanian menyumbang lebih dari 50 persen terhadap total kemiskinan di
Indonesia dan ini sangat kontras jika dibandingkan dengan sektor jasa dan
industri.
Ketiga, hubungan
antara kemiskinan dengan gender, di Indonesia sangat terasa sekali dimensi
gender dalam kemiskinan, yaitu dari beberapa indicator kemiskinan seperti
tingkat buta huruf, angka pengangguran, pekerja di sektor informal dan lain-lainnya,
penduduk perempuan memiliki posisi yang lebih tidak menguntungkan daripada
penduduk laki-laki (ILO : 2004).
Keempat,
hubungan antara kemiskinan dengan kurangnya akses terhadap berbagai pelayanan
dasar infrastuktur, sistem infrastruktur yang baik akan meningkatkan pendapatan
orang miskin secara langsung dan tidak langsung melalui penyediaan layanan
kesehatan, pendidikan, transportasi, telekomunikasi, akses energi, air dan
kondisi sanitasi yang lebih baik (Sida;1996).
Kelima, lokasi
geografis, ini berkaitan dengan kemiskinan karena ada dua hal. Pertama,
kondisi alam yang terukur dalam potensi kesuburan tanah dan kekayaan alam. Kedua,
pemerataan pembangunan, baik yang berhubungan dengan pembangunan desa dan kota,
ataupun pembangunan antar povinsi di
Indonesia.
KEBIJAKAN ANTI KEMISKINAN
Menurunkan angka kemiskinan telah
menjadi tujuan utama dari kebijakan publik di hampir semua negara termasuk
negara industri (Moller et al, 2003). Pengurangan kemiskinan akan berbeda di setiap
negara, tergantung dari beberapa hal, seperti konsep kemiskinan yang dianut,
karakteristik kemiskinan yang dialami, kondisi demografi, kondisi geografi,
serta kemampuan ekonomi dan arah kebijakan dari negara tersebut.
Penggunaan kata ”pengurangan” atau ”penanggulangan” mungkin Iebih tepat daripada kata ”pengentasan”, karena konsep dan ukuran kemiskinan itu akan selalu berubah seiring berubahnya waktu sehingga selalu saja ada masyarakat yang ”miskin”. Ketika kesejahteraan masyarakat meningkat, maka ukuran kemiskinan itupun akan meningkat, bahkan konsep dari apa yang dikatakan miskin itu sendiri dapat berubah.
Penggunaan kata ”pengurangan” atau ”penanggulangan” mungkin Iebih tepat daripada kata ”pengentasan”, karena konsep dan ukuran kemiskinan itu akan selalu berubah seiring berubahnya waktu sehingga selalu saja ada masyarakat yang ”miskin”. Ketika kesejahteraan masyarakat meningkat, maka ukuran kemiskinan itupun akan meningkat, bahkan konsep dari apa yang dikatakan miskin itu sendiri dapat berubah.
Berikut adalah kebijakan - kebijakan
yang dilakukan untuk mengurangi kemiskinan :
1.
Kebijakan Fiskal
Suatu kebijakan yang sangat terkait dengan distribusi pendapatan dan kemiskinan adalah kebijakan fiskal. Wujud dari kebijakan ini dapat dilihat dari perkembangan pendapatan dan pengeluaran negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN merupakan instrumen penting kebijakan pemerintah, tidak boleh hanya sekadar dipahami sebagai suatu dokumen keuangan semata, melainkan juga harus dipahami sebagai dokumen politik. Ini terjadi karena dalam perumusan dan penetapan isinya mengandung banyak aspek yang berkaitan dengan proses dan kompromi kepentingan politik. Selain itu, dokumen APBN itu juga merefleksikan komitmen politik dan prioritas kebijakan sosial ekonomi pemerintah.
Di samping itu, anggaran publik yang menegaskan prinsip pro-poor juga memiliki landasan konstitusional yang kuat. Landasan filosofi keuangan publik yang dianut oleh Republik Indonesia adalah kedaulatan rakyat dan bukan hanya perwujudan pengelolaan keuangan negara. Oleh karenanya, pengalokasian anggaran harus didasarkan pada aspek keberpihakan, yaitu keberpihakan pada kelompok masyarakat yang terpinggirkan secara ekonorni, sosial, politik, maupun budaya. Jika proses penganggaran negara dan daerah bervisi pro-poor, maka anggaran publik yang berpihak pada kaum miskin (pro-poor budget) menjadi instrumen politik terpenting dalam pengurangan kemiskinan. Di sinilah politik anggaran menempati posisi panting dalam mensejahterakan rakyat.
Menyadari hal ini, seyogyanya kebijakan anggaran jangan hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata. Kebijakan ekonomi yang hanya berorientasi pada peningkatan pertumbuhan ekonomi semata, sesungguhnya merupakan masalah. Pemerintah harus mendapatkan suatu kondisi pertumbuhan ekonomi yang tidak semata tinggi, tetapi juga dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, termasuk penduduk miskin (pro-poor growt). Kebijakan dan program pembangunan ekonomi seharusnya di titikberatkan kepada sektor ekonomi riil yang secara langsung maupun tidak langsung menyentuh kehidupan mayoritas kaum miskin, seperti pertanian, perikanan, usaha kecil menengah, dan sektor informal.
Kebijakan fiskal merupakan bentuk campur tangan pemerintah dalam perekonomian dan pernbangunan ekonomi suatu negara. Kebijakan fiskal memiliki dua instrumen pokok, yaitu perpajakan (tax policy) dan pengeluaran pemerintah (government expenditure) (Mankiw, 2003; Turnovsky, 1981).
Lebih jauh Soediyono (1985) mengatakan bahwa variabel instrumen dan kebijakan fiskal dapat berupa pajak (tax), transfer pemerintah (government transfer), subsidi (subsidies) dan pengeluaran pemen'ntah (government expenditure). Kebijakan fiskal disebut juga kebijakan anggaran (budgetary policy) yang dilakukan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Kebijakan fiskal atau anggaran memiliki tiga fungsi yaitu, (1) fungsi alokasi (allocation function), (2) fungsi distribusi (distribution function), dan (3) fungsi stabilisasi (stabilization function). Fungsi alokasi berkaitan dengan penyediaan barang sosial (social goods) atau proses penggunaan sumberdaya keseluruhan yang dibagi diantara barang privat (private goods), barang sosial (social goods) dan kombinasi barang sosial yang dipilih. Fungsi distribusi berkaitan dengan pembagian pendapatan dan kekayaan yang 1ebih adil dan merata di masyarakat. Sedangkan fungsi stabilisasi sesuai dengan namanya bertujuan untuk mempertahankan tingkat pengangguran yang rendah, stabilitas tingkat harga, dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang sesuai.
Suatu kebijakan yang sangat terkait dengan distribusi pendapatan dan kemiskinan adalah kebijakan fiskal. Wujud dari kebijakan ini dapat dilihat dari perkembangan pendapatan dan pengeluaran negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN merupakan instrumen penting kebijakan pemerintah, tidak boleh hanya sekadar dipahami sebagai suatu dokumen keuangan semata, melainkan juga harus dipahami sebagai dokumen politik. Ini terjadi karena dalam perumusan dan penetapan isinya mengandung banyak aspek yang berkaitan dengan proses dan kompromi kepentingan politik. Selain itu, dokumen APBN itu juga merefleksikan komitmen politik dan prioritas kebijakan sosial ekonomi pemerintah.
Di samping itu, anggaran publik yang menegaskan prinsip pro-poor juga memiliki landasan konstitusional yang kuat. Landasan filosofi keuangan publik yang dianut oleh Republik Indonesia adalah kedaulatan rakyat dan bukan hanya perwujudan pengelolaan keuangan negara. Oleh karenanya, pengalokasian anggaran harus didasarkan pada aspek keberpihakan, yaitu keberpihakan pada kelompok masyarakat yang terpinggirkan secara ekonorni, sosial, politik, maupun budaya. Jika proses penganggaran negara dan daerah bervisi pro-poor, maka anggaran publik yang berpihak pada kaum miskin (pro-poor budget) menjadi instrumen politik terpenting dalam pengurangan kemiskinan. Di sinilah politik anggaran menempati posisi panting dalam mensejahterakan rakyat.
Menyadari hal ini, seyogyanya kebijakan anggaran jangan hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata. Kebijakan ekonomi yang hanya berorientasi pada peningkatan pertumbuhan ekonomi semata, sesungguhnya merupakan masalah. Pemerintah harus mendapatkan suatu kondisi pertumbuhan ekonomi yang tidak semata tinggi, tetapi juga dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, termasuk penduduk miskin (pro-poor growt). Kebijakan dan program pembangunan ekonomi seharusnya di titikberatkan kepada sektor ekonomi riil yang secara langsung maupun tidak langsung menyentuh kehidupan mayoritas kaum miskin, seperti pertanian, perikanan, usaha kecil menengah, dan sektor informal.
Kebijakan fiskal merupakan bentuk campur tangan pemerintah dalam perekonomian dan pernbangunan ekonomi suatu negara. Kebijakan fiskal memiliki dua instrumen pokok, yaitu perpajakan (tax policy) dan pengeluaran pemerintah (government expenditure) (Mankiw, 2003; Turnovsky, 1981).
Lebih jauh Soediyono (1985) mengatakan bahwa variabel instrumen dan kebijakan fiskal dapat berupa pajak (tax), transfer pemerintah (government transfer), subsidi (subsidies) dan pengeluaran pemen'ntah (government expenditure). Kebijakan fiskal disebut juga kebijakan anggaran (budgetary policy) yang dilakukan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Kebijakan fiskal atau anggaran memiliki tiga fungsi yaitu, (1) fungsi alokasi (allocation function), (2) fungsi distribusi (distribution function), dan (3) fungsi stabilisasi (stabilization function). Fungsi alokasi berkaitan dengan penyediaan barang sosial (social goods) atau proses penggunaan sumberdaya keseluruhan yang dibagi diantara barang privat (private goods), barang sosial (social goods) dan kombinasi barang sosial yang dipilih. Fungsi distribusi berkaitan dengan pembagian pendapatan dan kekayaan yang 1ebih adil dan merata di masyarakat. Sedangkan fungsi stabilisasi sesuai dengan namanya bertujuan untuk mempertahankan tingkat pengangguran yang rendah, stabilitas tingkat harga, dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang sesuai.
Ketimpangan
dalam distribusi pendapatan dan kemiskinan merupakan persoalan yang krusial
bagi setiap negara, sehingga pemerintah di masing-masing negara berusaha untuk
mengurangi persoalan tersebut melalui instrumen fiskal. Dari sisi penerimaan,
anggaran pemerintah untuk pembiayaan publik dapat dihasilkan dari dua sumber,
yaitu domestik dan pinjaman luar negeri. Penerimaan dalam negeri, dapat
diperoleh dari pajak pendapatan, pajak penjualan dan pajak produksi, sedangkan
dari luar negeri, pinjaman dapat dari berbagai bentuk seperti pinjaman luar
negeri untuk publik.
Dari sisi
pengeluaran, penurunan kemiskinan dan retribusi pendapatan diimplementasikan
melalui tiga instrumen alokasi anggaran pemerintah, yaitu :
1. Subsidi langsung
atau subsidi individu yang ditargetkan pada rumahtangga berpendapatan rendah
2. Subsidi harga,
subsidi yang dialokasikan untuk komoditi yang digunakan oleh rumahtangga
menjadi lebih murah terutama untuk kebutuhan pokok
3. Pengeluaran
langsung pemerintah terhadap pelayanan publik dan infrastruktur, terutama dalam
meningkatkan kesejahteraan, kesehatan, dan pendidikan, yang diutamakan bagi
kelompok rumah tangga yang berpendapatan rendah.
- Subsidi dan Bantuan Langsung Tunai (BLT)
Subsidi
merupakan pembayaran yang dilakukan pemerintah kepada perusahaan atau
rumahtangga untuk mencapai tujuan tertentu yang membuat mereka dapat
memproduksi atau mengkonsumsi suatu produk dalam kuantitas yang lebih besar
atau pada harga yang lebih murah. Secara ekonomi, tujuan subsidi adalah untuk
mengurangi harga atau menambah output. Subsidi
atau transfer merupakan suatu bentuk pengeluaran pemerintah yang juga di
artikan sebagai pajak negatif yang akan menambah pendapatan bagi penerima
subsidi atau mengalami peningkatan pendapatan. Subsidi dapat dibedakan dalam
dua bentuk yaitu subsidi dalam bentuk uang dan subsidi dalam bentuk barang atau
subsidi innatura.
Subsidi dalam
bentuk uang diberikan pemerintah untuk menurunkan harga barang yang diproduksinya.
Sedangkan subsidi dalam bentuk barang yaitu pemerintah menyediakan suatu jenis
barang tertentu dengan jumlah yang tertentu pula kepada konsumen tanpa dipungut
bayaran atau pembayaran dibawah harga pasar.
Subsidi
dialokasikan dalam rangka meringankan beban masyarakat dalam memperoleh
kebutuhan dasarnya dan sekaligus untuk menjaga agar produsen mampu menghasilkan
produk, khususnya produk kebutuhan dasar masyarakat dengan harga yang
terjangkau. Pemberian subsidi ditujukan untuk menjaga stabilitas perekonomian,
khususnya stabilitas harga. Di negara berkembang, subsidi penting sebagai
instrumen fiskal untuk mendorong produktivitas dan peningkatan kesejahteraan
rakyat
DAFTAR PUSTAKA
Maipita,
Indra. 2014. Mengukur Kemiskinan dan
Distribusi Pendapatan. Yogyakarta: UUP STIM YKPN.
Basri, Faisal. 1995. PEREKONOMIAN INDONESIA MENJELANG ABAD XXI.
Jakarta: PENERBIT ERLANGGA.
Amaluddin, Moh. 1987. Kemiskinan dan Polarisasi Sosial. Penerbit:
Universitas Indonesia.